Pulang

Bagiku sarapan di Minggu pagi bukan kopi atau roti, aku lebih suka menyendiri di sudut taman membaca koran minggu ini, tapi tak kutemukan koran yang biasanya sudah tersedia di meja sebelum aku lari pagi.

Seperti bayi yang kehilangan dotnya, aku mencari ke setiap sudut rumah. Aku tidak bisa dan tidak biasa berteriak seperti tuan besar. Matahari yang sudah tinggi dan penat membuatku terduduk di lantai usai melongok kolong meja untuk kesekian kalinya.

Sepasang kaki indah menyembul tepat di hadapanku. Kaki yang sangat kukenal milik perempuan cantik, ratu yang menghuni hatiku sekian lama. Untuk mendapatkannya, aku rela meninggalkan semua milikku di masa lalu. Bahkan, imanku pun turut kugadaikan agar aku dapat memilikinya.

Tiada kuhirau tangis ibuku atau runtuk ayahku, apalagi ceramah adikku. Aku melenggang gembira menyambut hari baruku bersamanya.

Sepuluh tahun telah berlalu, segala kemewahan dunia telah kupunya, sedang hubunganku dengan keluarga ya begitulah. Apa mau dikata, aku tidak bisa memilih cinta yang menjeratku di persimpangan antara baktiku pada Ayah-Ibu dan sayangku pada keluargaku yang baru.

Sebagai sulung, aku adalah harapan keluarga pada awalnya. Tapi ingkarku membuatku turun takhta. Aku dicoret dari daftar keluarga. Tak ada lagi yang mengikatku dengan mereka katanya.

Aku menerima ini sebagai konsekuensi dari pilihan hidup yang aku jalani. Sungguh tak sekalipun aku melupakan kewajibanku sebagai anak kepada orang tua, tapi ayahku selalu menerimanya dengan dingin.

Bukan materi yang mereka harap, tapi kembalinya buah hati, demikian mereka berkata seraya memelukku dengan linangan air mata yang tak pernah kering setiap kali aku menemui mereka.

Sudah dua lebaran aku tidak pulang kampung untuk berkumpul dengan keluarga, mereka pasti maklum dan aku tahu mereka tidak begitu mengharapkan kedatanganku. Ada atau tidak ada aku tidak ada bedanya.

Sungguh ini bukan disengaja, mangkirku, karena ada acara di rumah mertua yang berdekatan dengan hari raya, tapi mereka pasti berpikiran lain. Aku datang di waktu lain dan hanya bertemu Ayah-Ibu, yang lain tidak mungkin karena libur rayaku lain.

Sebenarnya jauh di lubuk hati, ada kerinduan yang menggelayut, mengganggu langkahku. Tak bisa kupungkiri bahwa meskipun ada lagu lain yang kini mengalun memenuhi telinga dan mengiringi setiap langkahku, tetap saja terbersit alunan tilawah yang sering melagu di setiap senja di langgar dekat rumah dulu.

Kesibukan yang bertumpuk dan perhatian serta cinta tak terkira dari istriku menghapus begitu saja bayangan yang menganggu. Kembali langkahku menatap ke depan tanpa sempat memikirkan yang telah lalu.

Aku percaya inilah jalan yang Tuhan pilihkan untukku. Aku menerimanya dengan ringan. Orang-orang baru di sekelilingku menyambutku dengan sukacita, tapi orang-orang di masa lalu selalu mengangguku dengan tangis yang tak kunjung usai juga.

*****

Kaki indah di depanku bergeming, kaki yang membuatku rela berlutut dan meninggalkan sujud. Aku mendongak mengharap senyum kutemukan di bibirnya yang indah, senyum yang membuatku takluk pada setiap kata yang terucap. Tapi ternyata aku salah.

Matanya yang sejuk bening seperti telaga yang mampu menghanyutkan aku hingga ke seberang melotot penuh dendam. Tangannya berkacak pada pinggangnya yang ramping terawat seiring usia yang terus merambat.

Aku mengulurkan tangan berharap manja pada jemarinya, tapi lemparan koran yang aku terima tepat di mukaku yang menatapnya dengan sejuta tanya. Kuraup koran yang berserakan memenuhi badan. Aku tidak menemukan apa yang membuatnya seperti kesambet setan.

Bukan berlagak bodoh kalau tampangku jadi dongo, aku sedang mencari artikel apa kiranya yang menarik perhatiannya hingga rela bangun pagi tidak seperti biasanya,

Masih dengan wajah kesambet, istriku menunjuk lembar halaman sastra, di situ tertera nama yang membuatku terlempar ke masa silam. Aku kini paham dan hanya bisa terdiam, tidak ada kesempatan bagiku untuk menjelaskannya sekarang.

Aku menurut saja seperti kerbau tercucuk hidungnya sewaktu istriku menyorongkan deretan bait sajak yang tercetak.

Smoga
kiranya airmata
tahajudku kembalikan
hatimu padaNya
seribu bulan ku akan
menunggu dalam doa.


Aku mengernyitkan dahi. Sepertinya aku pernah membacanya, tapi di mana? Istriku melempar hp ke pangkuanku.

“Tersanjung?” istriku mencibir. Aku juga melakukan hal yang sama waktu pertama menemukan sms yang bunyinya tidak jauh beda.

Aku membalasnya dengan mengatakan, “Jangan melakukan hal yang sia-sia.”

Tak surut pantang menyerah, selalu saja ada pesan masuk ke hpku bangunkan pagiku dan aku terus menggerutu. Pernah sebulan aku terbebas dari pesan yang mengguru itu, tapi aneh, bukan tenang yang kudapat.

Aku kelimpungan seperti kehilangan cahaya pagi, tentu saja tak kutunjukkan muka gelisah di depan isriku. Bisa runyam perkara kalau ia curiga.

Sekarang apa yang harus kukatakan kalau ternyata ia melanggar kesepakatan tentang hak pribadi, termasuk hp pribadi? Aku tak pernah mengusik barangnya tanpa seizinnya. Kini ia melempar hpku untuk menunjukan bahwa ialah yang berkuasa atas diriku di rumah, juga di setiap gerakku?

Tidak ada yang harus kusembunyikan darinya. Semua masa lalu telah kukubur bersama ikrar yang kubangun atas nama cinta. Semua surat yang keluar-masuk dan hp aku taruh di tempatnya tanpa kukunci. Silakan saja. Jadi kalau ia membaca pesan yang seharusnya untukku, salah siapa?

Gerah juga menjadi tertuduh tanpa hak membela. Kusingkirkan koran tanpa melanjutkan baris berikutnya, aku sudah hafal semua di luar kepala. Sekadar hafal, tahu maknanya, tapi tidak tergerak untuk memahami yang tersirat di balik setiap kata.

Aku melangkah ke kamar mandi untuk berendam, menyegarkan otakku yang buntu, mencari alasan yang jitu agar terhindar dari perang yang sudah dikibarkan istriku.

Kuselonjorkan kakiku di washtub dan mencoba memejamkan mata mencari kata-kata. Dalam keadaan lelah hati dan lelah raga seperti ini, aku tak tahu apa yang ada dalam benakku. Sayu mataku mengantarku pada masa lalu.

Aku berlari mengejar panggilan adzan bersama teman-teman. Aku tersipu waktu tak sengaja bersenggolan di sudut langgar usai mengambil wudu.

“Batal!” teriak temanku dan aku menurut disuruh mengulang wudu. Gadis kecil itu juga.

Ternyata dia anak baru. Mulai hari itu, dia ada di dalam hatiku hingga datang waktu memisahkan kami. Aku harus ke kota melanjutkan kuliah hingga mendapat pekerjaan yang ternyata menjadi jurang yang memisahkanku dengan masa lalu.

Aku masih ingat waktu ia mengeja Al Ikhlas dan tarjamahnya di depan kelas sementara aku kebagian membaca Al Kafirun. Aku menghafal sambil melihat mulutnya yang ikut komat kamit menolongku yang terbata-bata. Lega akhinya aku hafal juga.

“Alhamdulillah. Jangan sekedar dihafal ya, Nak, tapi diamalkan juga,” begitu Bu Guru berpesan pada kami semua.
Suara lembut Bu Guru membangunkanku. Bergegas aku mengambil wudu setelah menutup auratku. Aku mengejar suara adzan yang bergema dari masjid di ujung jalan. Istriku mengejar sampai ngos-ngosan, matahari membakar kulitnya yang selembut salju.

“Mas mau ke mana?”

“Pulang!” jawabku mantap.

“Rumah kita di sana,” katanya menunjuk ke belakang.

Tidak! Aku tidak mau menengok ke belakang. Aku tidak mau pulang ke rumah yang telah menyilaukan dan membutakan mata hatiku.

“Mas!” istriku menarik tanganku.

“Batal!” teriakku. Aku tak mau terjamah tangannya yang tak kenal air wudu.

Aku terus berlari dan istriku terus berteriak. Aku tidak mau menoleh lagi. Takkan pernah kusesali meski yang kubawa hanya kain yang menempel di badan.

Aku menatap lurus jalan di depan yang membentang mengantarku pulang, pulang ke rumahNya yang Maha Kaya lagi Maha Penyantun, yang Maha Penyayang lagi Maha penerima tobat sebelum hari menjadi gelap…

******
PM 2:38 ’020807

Puisi-puisi Agustus 2007

0 komentar
TAK LAGI
maafkanku sakitimu
tanpa sua kata akhiri
semua lalu tak kuasaku
galaumu sendiri tak lagi
Dia kan ada selalu untukmu
Dia hanya sejauh doa honey.

javas,080807.

SENDIRI
aku pulang menggigil
perih luka mendidih
demi bulan bintang di langit
gombal basi kuyakini
kemana kau kutangisi?
percuma katamu berbelit
hapus jejak lalu berkelit
akhiri satu kata,finish.
GR,100807.


BUNGA KAMPA
bunga kampa kamitua
layu terkampai lunglai
berkampuh terkucak kucam

beranak macam kurawa
besar di kata nyata tak
berebut muka pamrih ada

layuh kampa merindu lara
pada pandawa berlabuh mata
menanti layung menjemputnya.

gdm,130807.

Semeru dan Puisi-puisi Lainnya

0 komentar
SEMERU

aku rindu tatapmu
dalam menusuk tersipu
jengah menggelayutku
tergugu lembut tuturmu

“adikku karibku sunnyku
jangan ragu meski lalu
gambarmu rapi menyatu
terukir indah di kalbu”

kau genggam jemariku
aku genggam janjimu
nyata beku membelenggu
beribu hari membisu

pecah tawamu kurindu
merdu suaramu lukaiku
kau masih sehangat dulu
sayang kau lupa Dia yang satu.

030195


PULANG

di tawang hatiku tertinggal
di sudut ruang tersimpan
lembut tatapmu menggenang

di ragunan senyummu mengembang
jalan-jalan jakarta sempit kau bilang
kembali kelaut kau tenggelam

aku ingin merajut benang
merah di atas jurang memisah
bersama pulang ke rumah.

170994


TANJUNG

simatupang cakar langit
menjulang timpang cermin
di belakang lapar mengiris

jalan tumpah kiri kanan
rapat menguap milyaran
mati tak bebas terhambat

gelap masuk ke perut
cawang ular…ular meliuk
amis sengit menusuk

simpang lima! kutergagap
baui kali hitam pekat
terseok-seok menggeliat

tiang cahaya matahari
menohok memerah pipi
dimana citra sembunyi

simpang lima mati dijejali
container berendeng mercy
koasi becak metromini

sayang dimana gambarmu
lepas tergerus arus laut
keseberang arah sujud

sesak mendesak dada
jeritku memecah hampa
tertawan hatimu di simpang

kumandang takbir kuterjaga
di simpang lima priuk ada
bukan tanjung emas dimana

disana bintangku pijar
tinggal tertutup awan
seribu bulan berikan terang.

070707


TITIS

satu dering lelapmu tersungging
satu dering pagimu tersungnging
dingin di samping ku terasing

satu dering aku terpancing
no numbers kau tersungging
setiap dering ku terpelanting

satu dering tanya teriring
jumatan mas? hp kau banting
nyaring tawaku melengking

satu dering kali lain
jumatan mas! palamu miring
tlah ku cuci hati dan pikir

satu dering lengan kau singsing
beriring mengejar muadzin
panas tak mau ku tersingkir

kuhujam dalam belit taring
bisa dibalik tahta menggiring
mengikat buah berbenih

bara kemilauku menitis
kikis jiwa-jiwa tipis
rintis hingga masa habis.

ku goda adam di surga
di dunia anak cucunya
dalam berjuta rupa ada.

110607


SMOGA

kiranya airmata
tahajudku kembalikan
hatimu padaNya
seribu bulan ku akan
menunggu dalam doa.

161295


MIRIS

gelap malam sendiri
bulan bintang sembunyi
di matamu senyum pagi

pada kejora dini kau berbagi
aku hanya vas dimana benih
kecambah tumbuh di sisi

tanpa tahu siapa sembunyi
di balik bilik ruang hati
Tak ada tapi ada pasti.

sl, 200406


BILA

sepuluh langkah
belia ukir cerita
pilu terpisah cita

dua puluh remaja
terbang kau kelana
mengejar seribu asa

tiga puluh tersua
indah dinding kaca
pecah terbelah jiwa

empat puluh nyata
di sini ku kau di sana
tergenang airmata

sepuluh lalu kutanya
bila ada masa tersisa
kunantimu di rumahNya.

200405

Pencuri Waktu Jumat

0 komentar
Tersambung pipa pada kolam dalam
di tengah jumat cerah berawan
berendam di kawah hangat menawan
nikmat lupa kan kewajiban tuan

Tertumbuk lumpang diatas
dipan beralas tazmanian
detik berputar senja memudar
bawah terpancar wajah menegang

“Syet-tan!” teriak berbentur pandang
“Kamu yang setan!” semburnya menantang
“Apa kamu bilang?”
“Maumu apa?”

“Pikirmu gampang lepas tangan
kamu pikun lupa aku punya
kunci ke dunia mayapada
takkan bisa kau bebas melenggang.”

Lagi lagi lagi dan lagi ya!
debat sesudah nikmat mencuat
luka basi menganga terkoyak
pemenangnya syetan yang sesungguhnya
peroleh kawan bersorak gempita

Berkelebat gas ditancap
pencuri waktu sholat Jumat
kembali menghadap meja
selamat tak ada yang melihat
tak ingat Tuhan Maha Melihat

Senja merona sesaat gelap
menjemput secepat kilat
bercerminlah tuan lihat
tak ada bekal kecuali khilaf
bila tuan kan bertaubat?

Obsesi

Jam lima pagi, mungkin orang lain masih kedinginan di balik selimutnya, tapi aku sudah gerah setelah menyiapkan semua keperluan anak-anak. Seragam, sarapan, bekal, sepatu, sekarang tinggal mengantar mereka satu per satu.

Jalanan masih lengang, itu yang aku takutkan. Anakku yang besar perempuan, aku harus mengantarnya berjalan kaki sampai ke jalan raya.

Ini untuk penghematan, daripada naik ojek lima ribu setiap hari pergi pulang dikali satu bulan kalau dijumlah bisa untuk bayaran sekolah.

Kadang terbersit juga rasa iri melihat mereka yang berangkat kerja tampak rapi dan wangi, tapi aku kubur perasaan itu, sejak awal aku memilih untuk mengurus anak-anak dan meninggalkan anganku bekerja seperti layaknya perempuan kota.

Sekarang setelah suamiku terkena PHK, terbersit keinginan untuk mencari penghasilan sendiri tapi belum juga kutemukan jalan.

Setelah anakku menyeberang dan naik angkot, aku bergegas pulang seperti atlet jalan cepat, Jam enam kurang lima, anakku yang kedua sudah rapi dan aku berangkat lagi.
Jam setengah tujuh aku mandikan si kecil dan demi menghemat waktu aku menyuapinya sambil berjalan kaki, aku sudah menghitung seperti biasa, sebelum sampai jalan raya sarapannya sudah habis di mulutnya.

Angkot penuh anak sekolah, aku gerah dan punggungku basah, aku tidak harus malu dengan penampilanku, kostum jogingku membantuku.

Kulepas si bungsu setelah bertemu bu guru, aku menyeberang lurus ke depan lewat jalan tikus yang tembus ke perumahan mewah di bawah sana.

*****

Sebenarnya aku tidak sengaja menemukan jalur ini, aku hanya ingin pulang berhemat dengan jalan kaki sambil menggenapkan langkahku hingga sepuluh ribu seperti iklan di televisi.

Lewat jalan raya terlalu ramai dan polusi. Jadi aku memilih lewat perumahan ini yang teduh sambil memandang rumah yang bagus dan besar, sangat kontras dengan pemandangan di kampung atas.

Rumah-rumah petak berhimpitan tidak beraturan, jemuran berkibar memenuhi gang, anak-anak balita berlarian sambil membawa selembar uang seribuan berebut jajanan, Ibu-ibu merubung warung nasi uduk, tukang bubur juga tukang sayur.

Aku berhitung membayangkan uang yang mereka belanjakan setiap pagi, nasi uduk atau bubur ayam kali jumlah anggota keluarga, pagi-pagi begini sudah jajan berapa? Karena itu aku tidak membiasakan anakku jajan dan aku selalu menyiapkan sarapan dan bekal untuk mereka.

Aku menghela nafas, apa yang aku pikirkan? Itu urusan orang, tapi otakku tidak bisa diajak kompromi setiap melihat sesuatu yang menurutku pemborosan, dalam bayanganku adalah hitungan uang yang harus dikeluarkan dan dug! Aku terpental ke aspal.
Aku merasa seperti manabrak sesuatu, mataku nanar, yang terlihat hanya samar-samar sepertinya sebuah mobil yang sedang keluar.

‘’Maaf, Ibu tidak apa-apa?” seorang laki-laki keluar dari pintu mobil. Aku seperti pernah melihatnya.

Dari dalam pagar keluar perempuan cantik dan terlihat lebih tua sedikit, mungkin kakaknya .

“Mari, Bu. Biar saya bantu,” perempuan itu mendekatiku. aku berusaha bangun dan langsung melangkah lagi..

“Terima kasih, maaf saya buru-buru,” aku mencoba tersenyum.

“Kalau begitu sekalian saja, suami saya juga mau keluar,” perempuan itu tersenyum.
Suami?.

“Iya, Bu. Silakan,” Sang nyonya membukakan pintu kiri untukku.

Aduh bagaimana ini? Aku tidak kenal mereka. Walaupun kelihatannya baik, tapi aku khawatir juga.

Aku sering melihat bapak perlente ini, di rumah sebelah yang merangkap salon kecantikan dengan program pelangsingan yang menggiurkan tapi tidak mungkin terjangkau kantongku yang pas-pasan.

Siapa yang tidak kepengen cantik dan langsing, tapi ongkosnya pasti mahal. Jadi aku tidak berhak berkhayal, hanya bisa menonton orang yang mondar-mandir bergantian.
Aku tidak pernah iri dengan kehidupan seperti itu, mereka tampak seperti boneka hidup yang dipajang, orang memandang silau tapi tidak tahu persis apa yang terjadi di dalam.

“Sepertinya saya pernah melihat Ibu.” Sang suami membuka percakapan setelah mobil berjalan meninggalkan istrinya yang melambai dengan seribu pesan.

“Rumah saya di sebelah salon Bu Nina,”jawabku sopan.

“Hebat juga ya, Ibu bisa joging sampai ke sini.”

Kalau saja dia tahu aku olah raga untuk menghemat ongkos juga. “Anak saya sekolah dekat sini.”

“Berapa putra Ibu?”

“Tiga.”

“Bapak?”

Ya ampun, macam petugas sensus saja.

“Baru kena PHK.” Jujur aku menjawab, toh akhirnya nanti dia tahu juga dari tetangga.

“Wah pasti berat ya, Bu. Mungkin saya bisa bantu?”

“Maksud Bapak?”

“Maaf, berapa nomor rekening Ibu?” tanyanya sambil membuka hp.

“Kosong enam tujuh satu lima… Tunggu dulu, maksud bapak?” untung otakku langsung curiga.

“Maaf, Bu. Bukan maksud saya…”

“Terima kasih, tolong turunkan saya di sini.” Aku bergegas turun dan masuk jalan yang diportal untuk menghindar. Aku tidak mau terlibat urusan asmara orang.

Mimpi apa aku semalam? Aku memang perlu uang, tapi kalau harus bungkam untuk urusan yang runyam dan bisa bikin perang…, huh! Mending aku puasa.dan jalan agar bisa berhemat sekaligus sehat.

Apa mungkin aku sudah gila atau sok kaya, menolak rezeki yang datang tanpa dinyana, sebab kalau dipikir-pikir enak juga kali ya dapat uang tanpa harus membanting tulang, tapi apa halal? Ah, aku ini mikir apa?

Sambil berjalan, aku menghitung sisa uang. Masih bisa untuk belanja hari ini, tapi untuk ongkos anak-anak besok pagi?

Aku masih punya sedikit tabungan, aku mampir ke pasar swalayan, masih sepi jadi aku tidak harus mengantri di mesin ATM, Aku langsung cek saldoku, takut berkurang dan tidak bisa diambil lagi.

Aku perhatikan deretan angka-angka yang berbaris rapi dengan awalan angka satu, lima dan di belakang angka nolnya banyak amat? Apa aku tidak salah lihat? Aku langsung tekan cancel dan meninggalkan mesin ATM dengan hati berdebar-debar.

Apa mungkin orang tadi? Dengan telebanking dia bisa mentransfer uang sambil menyetir. Enak juga ya jadi orang kaya, tinggal pencet semuanya beres.

Kalau benar aku dibantunya setiap bulan dengan jumlah sebanyak ini aku tidak akan kelimpungan lagi memikirkan ongkos anak-anak setiap hari. Mimpi kali! Tapi aneh, tidak sedikit pun aku tertarik untuk mengambil uang yang bukan hakku.

Apa dari adikku di kampung? Aku memang punya sedikit bagian warisan yang digarap adikku dan aku mendapat separo dari hasil panen, tapi tidak mungkin sebanyak ini.

Aku terus berpikir dan otakku yang selalu berhitung setiap melihat angka, kali ini pensiun, tidak tertarik menghitung, malah bingung. Kalau ternyata orang salah kirim misalnya, bagaimana menggantinya? Dipenjara? Hi! Aku pilih pulang saja.

Sampai di depan gang aku heran melihat kerumunan orang dan kulihat ada mobil patroli, ada apa ini? Tampak polisi keluar dari pintu samping salon menggiring rombongan laki-laki dan perempuan yang tampak kepayahan seperti habis begadang semalaman.

Dari Pak RT aku mendapat jawaban ternyata rumah salon ini hanya kedok untuk menutupi perjudian terselubung dan peredaran narkoba.

Program pelangsingan itu ternyata dengan nyabu sebagai obat penahan lapar. Apanya yang langsing dan cantik kalau jadi ketagihan dan sekarang jadi urusan sama yang berwajib, masuk bui, terus apalagi? Hi…

Nyabu? Otakku kembali berputar menghitung angka-angka berapa kiranya yang mereka habiskan untuk semua ini.

Kalau aku yang senang berhitung tapi tak punya banyak uang untuk dihitung, jangankan nyabu obat terlarang beneran, nyabu nyarap bubur saja menurutku masih terhitung mahal. Coba dikali jumlah penghuni rumah, uangnya bisa untuk beli beras dan lauknya.
Diantara rombongan yang digiring polisi, terlihat Bapak yang tadi. Aduh Ibu, bagaimana ini? Nanti kalau diselidiki dan rekeningnya diperiksa, ternyata ada aliran dana ke rekeningku terus aku juga kena?

Sambil menyelinap diantara kerumunan aku lari ke rumah, terdengar dering telepon, aku makin deg-degan jangan-jangan…

“De, tolongin aku ya...” Ternyata kakakku di seberang, anaknya diterima di PTN di Jakarta, tapi dia tidak bisa mengantar karena mertuanya sakit.

Untung aku tidak main sikat, kege-eran terima rekening gelap. Tapi setidaknya aku lega terlepas dari sangkaku disuap berondong lewat.

*****

Satu dua tiga… Aku jalan pagi seperti biasa sepulang mengantar si kecil sekolah dan aku masih penasaran dengan nyonya kaya yang dikibuli suaminya itu.

Tapi yang kulihat tidak seperti yang kubayangkan. Tidak ada nyonya yang bengong melolong, yang ada justru sebaliknya, suara tawa kemenangan dari laki-laki yang kemarin tampak pucat pasi di mobil patroli.

Ah, pasti dia orang yang sangat sakti sampai bisa keluar dari bui sebelum pagi, atau istrinya yang kaya bisa membayar dukun yang sakti mandraguna, atau…. Aku bergegas melangkah menjauhi mereka.

Besok aku akan mencari jalur lain, mungkin aku akan menemukan cerita yang lain lagi. Siapa tahu aku bisa menemukan jalan mencari rezeki yang halal tanpa meninggalkan kewajiban menjaga anak-anak supaya aku tidak lagi berkhayal mendapat kiriman uang nyasar dari orang yang tidak di kenal.

Mudah-mudahan.

Amien.
*****

Pml, 05-8-07.

Mahar

0 komentar
Bertanya seorang laki-laki dari masa lalu
maukah kau menikah denganku?
jika Tuhan mengijinkanku
apakah artinya kau setuju?
jika tanyamu sepuluh tahun lalu

Tapi dalam sujud tahajud dan tadarusmu
kau masih menangis untukku
kerna kau berpaling memilih jalanmu
tak ada satu kebetulan di dunia kau tahu
adalah rencana Tuhan kuterima pencerahanku

Kita kan terbang ke negeri salju
tuk menyatu tanpa penghulu
kalau boleh kupilih maharku?
demi bulan dan bintang di langit janjiku
seperangkat alat sholat terbaik untukmu

Serupa yang kau beri pada istrimu
dulu tuk kelabuhi ayah ibumu?
tidak, bukan itu yang kumau
Tuhan tidak tertipu tapi dirimu
yang berlapang dada bersekutu

Demi buah hatiku yang tak lagi beribu?
“Baik, nikahi aku di surau kecil kita dulu
dengan Al Maidah dan Tarjamah tulisan tanganmu.”
Plaak! Aduh! nyamuk. terjaga aku
sebuah pesan menunggu

“Masih juga kau mimpi yang sama?
bodohnya kau tak juga menghapusnya
takkan ada mimpi yang nyata
rugi tak ada manfaat tak ada guna
kami bahagia harapku kau juga.”

Doaku tuk ayah ibumu disetiap ujung malam
kiranya takkan sampai padamu di seberang
ikhtiar seribu malam seribu bulan
mengharap karunia di Lailatul Qodar
yang Maha Pengasih yang Maha Tahu segalanya

Dalam cahaya bulan dan bintang malam
datang seorang laki-laki ke surau tua
menyalin Al Maidah dan Tarjamahnya
tak ada yang tak mungkin di dunia
hidayah bagi siapa yang dikehendakiNya

Takbir berkumandang sambut kemenangan
bagi yang bersabar dan bertaqwa
bertasbih memuji namaNya
yang Maha Besar yang Maha Pemaaf
yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.



Pml, 200407.

Juli Menangis

0 komentar
July menangis gerimis
sinis menebar amis
dan benang berbelit
berkait title: loyalty
but treachery or loyalty
cuma beda tipis sekali

Lata culpa kumis tipis
lamis terhimpit meringis
nervous narsis unjuk eksis
miris kembang kempis habis
semua yang tertulis di notaris
Bravo miss! Quo vadis?

July masih terus menangis
gerimis sinis menebar amis
di atas tersenyum manis
tengah terkikis bawah apatis
yang pintar langsir mengais
mengaruk gatal mengelikik

treachery or loyalty
it’s not your business
keep your lips, please!
give me totally service
not advise,’cause this chaos
dikipas dikupas takkan temui finish.

sl, 96-06.
 
Free Website templatesFree Flash TemplatesFree joomla templatesSEO Web Design AgencyMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates